Rabu, 20 November 2013

Ukuran Air yang Bisa Menghilangkan Najis



حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الدَّقَّاقُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي نُعَيْمٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنِ الْمَاءِ يَكُونُ بِأَرْضِ الْفَلاَةِ وَمَا يَنْتَابُهُ مِنَ الدَّوَابِّ وَالسِّبَاعِ فَقَالَ إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ. (أخرجه دار القطني  والأربعة, وصحّحه ابن خزيمة و الحاكم و ابن حبّان)
Diceritakan dari Abu ‘Amr bin Utsman bin Ahmad Ad Daqoq ia berkata, dari Ali bin Ibrohim Al Wasyithi ia berkata, dari Muhammad bin Abi Nu’aim ia berkata, dari Sa’id bin Zaid ia berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Ishaq ia berkata, diceritakan kepadaku Muhammad bin Ja’far, dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ‘Abdillah bin Umar ia berkata, “Aku mendengar Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada beliau tentang air yang terdapat di padang sahara yang telah diminum oleh binatang tunggangan dan binatang buas. Maka beliau bersabda, “Apabila terdapat air berukuran mencapai dua qullah maka air itu tidak kotor (najis).” (Dikeluarkan oleh Darul Quthni dan empat madzhab, dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Asbabul wurud
Sebab adanya hadits ini ketika ada seorang laki-laki bertanya kepada Rosulullah tentang air yang terdapat di padang sahara, air itu telah diminum oleh binatang buas dan lainnya, atau bisa saja terkena najis, maka Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Apa bila  terdapat air berukuran mencapai dua qullah maka air itu tidak kotor (najis).” [1]
Derajat hadits      
Para ulama berselisih dalam menghukumi hadits ini. Sebagian mereka menshahihkan hadits ini, diantaranya Imam Syafi’i, Ahmad, Yahya bin Ma’in, Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Haakim, Abu Ubaid al-Qaasim bin Sallaam, ath-Thahawiy,Daruquthni, Baihaqiy, Ibnu Mandah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Adz Dzahabi, ibnu Daqiqil’ied, al-‘Alaa’i, Abdulhaq al-Isybiliy, Al ‘Iraqiy, Ibnu Hajar, Ibnu Hazm, Ahmad Syakir, Al Albani dan lain-lain. Sebagian lainnya masih mendhaifkannya, diantaranya Ibnu Abdilbarr (lihat at-tamhid 1/329) dan Ibnul ‘Arabi (lihat Ahkaam al-Qur`an 3/1425 dan ‘Aridhatul ahwadzi 1/84).
Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dan syeikh al-Albani.[2]
Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih. Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur) tidaklah dapat diterima, sebagaimana telah saya jelaskan dalam Shahih Abi Daud (56-58). (Irwa’ al-Ghaolil 1/60 hadits no. 23).
Dari sini jelaslah kebenaran pendapat yang mensahahihkan hadits dua qullah di atas, bahkan salah satu jalannya (jalan yang pertama) atas syarat Bukhari dan Muslim, maka tidak ada jalan bagi sebagian ulama untuk melemahkannya dengan mengatakan bahwa hadits dua qullah itu mudltharib (goncang) sanad dan matannya.
            Syarh hadits
Kata قلتين  (qullataini) dengan didhommahkan huruf Qaafnya berarti dua kullah. Kullah sendiri adalah kantong air yang besar dari tanah yang dinamakan juga dengan al-Hubb (الحُب). Qullah yang dijelaskan didalam hadits ini adalah tempat yang besar.
Kata لم يحمل الخبث  (lam yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), tidak jelas pengaruhnya. Maknanya adalah apabila air mencapai ukuran ini bila ada najis yang jatuh ke dalamnya ia akan tetap suci.
Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak menjadi najisi. Kata الخبث (khobats) adalah najis.[3]
“Kandungan utama hadits qullatain adalah air yang telah mencapai kadar sebanyak dua qullah, tidaklah membawa/mengandung najis, dikarenakan umumnya kadar air yang demikian tidaklah dipengaruhi oleh najis. (Namun), apabila ternyata sebagian karakter air berubah, maka statusnya menjadi najis berdasarkan ijma’ ulama yang ditetapkan dari beberapa periwayatan” Beliau melanjutkan: “Adapun air yang jumlahnya di bawah dua qullah, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memastikan bahwa air dengan kadar tersebut mengandung najis. Bahkan konteks hadits menunjukkan bahwa air dengan kadar di bawah dua qullah, terkadang membawa najis dan juga terkadang tidak membawa najis. Apabila air tersebut mengandung najis, maka statusnya tidaklah berubah menjadi najis kecuali salah satu karakternya berubah. Sehingga, konteks hadits qullatain ditaqyid (dikaitkan) dengan hadits yang telah disepakati untuk diterima dan diamalkan, yang menyatakan bahwa air yang bercampur dengan najis, statusnya menjadi najis apabila terjadi perubahan pada salah satu karakternya. Wallahu A’lam[4]
Hadits ini memberikan pengertian bahwa air yang mencapai dua kullah atau lebih,  apabila terkena najis maka ia tidak berubah menjadi najis baik berubah sifatnya atau tidak.  Namun pengertian seperti ini tidak benar karena ijma’ mengatakan bahwa air yang terkena najis dan berubah salah satu sifatnya maka menjadi najis baik sedikit maupun banyak. Pengertian sebaliknya dari hadits di atas bahwa air yang sedikit yang tidak mencapai dua kullah dengan sekedar terkena najis saja sudah menjadi najis, baik berubah atau tidak berubah salah satu sifatnya. Jadi maksud kandungan di dalamnya adalah apabila air belum mencapai dua kullah hukumnya najis, dan apabila tercapai dua kullah harus terdapat syarat yang terkandung yaitu bau, rasa, dan warnanya tidak berubah.[5]
Pengertian ini menyelisih hukum al-manthuq (pengertian umum), karena tidak diambil keumumannya; sebabnya tidak disyaratkan hukum pengertian sebaliknya (mafhuum) menyelisihi pengertian umum (al-manthuq) dari semua sisi, bahkan cukup penyelisihannya walaupun hanya dalam satu bentuk dari bentuk keumumannya. Inilah pengertian kaedah  (المفهوم لا عموم له) Pengertin sebaliknya tidak digunakan keumumannya.[6]
Berdasarkan hal ini tidak mesti setiap yang tidak mencapai dua kullah menjadi najis. Apabila terkena najis dan berubah sifatnya maka ia menjadi najis dan bila tidak ada perubahan sifat maka tetap dalam keadaan suci. Namun air yang dibawah dua kullah menjadi pusat perhatian agar otang tidak semau-maunya atau meremehkannya. Hal ini karena ukuran tersebut menjadi sesuatu yang mudah terpengaruh najis.[7]
Al Istifadah min Al Hadits
Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.
            Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya.
            Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika  najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.
            Air sedikit sekali terpegaruh oleh najis secara umum, sehingga seyogyanya dibuang dan berhati-hati dengan tidak menggunakannya.
           
Maroji’
1.      Kitab Daru Quthni, Ali bin ‘Umar Abu Hasan Ad Daruquthni al baghdadi. Darul Ma’rifah Juz 1
2.      Fath Dzil Jalali wal Ikrom, Syarh Bulughul Marom. Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Jilid 1
3.      Syarh Bulughul Marom net. UstadzKholid.com.htm. Senin, 9-9-2013





                                                                                   
                                                                            



[1] Kitab  Sunanu Daru Quthni, Ali bin ‘Umar Abu Hasan Ad Daruquthni al baghdadi. Darul Ma’rifah Juz 1, hal 21
[2] Syarh Kitab Al Ilmu min Bukhori, Darul Qhuthni
[3] Fath Dzil Jalali wal Ikrom, Syarh Bulughul Marom. Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Hadits 4, hal 67-68
[4] Syarh Bulughul Marom, net UstadzKholid.com.htm. Senin, 9-9-2013, 23.45
[5] Fath Dzil Jalali wal Ikrom, Syarh Bulughul Marom. Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Jilid 1, Hadits 4, hal 67-68
[6] Syarh Bulughul Marom, net UstadzKholid.com.htm.
[7] Imam Malik dan Ahmad serta Zhohiriyah dan syeikhul islam ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim   merojihkannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar