حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الدَّقَّاقُ ،
قَالَ : حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي نُعَيْمٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ عَنْ
عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنِ
الْمَاءِ يَكُونُ بِأَرْضِ الْفَلاَةِ وَمَا يَنْتَابُهُ مِنَ الدَّوَابِّ
وَالسِّبَاعِ فَقَالَ إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ. (أخرجه دار القطني
والأربعة, وصحّحه ابن
خزيمة و الحاكم و ابن حبّان)
Diceritakan dari Abu ‘Amr bin Utsman bin Ahmad Ad Daqoq ia berkata, dari
Ali bin Ibrohim Al Wasyithi ia berkata, dari Muhammad bin Abi Nu’aim ia
berkata, dari Sa’id bin Zaid ia berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Ishaq ia
berkata, diceritakan kepadaku Muhammad bin Ja’far, dari ‘Ubaidillah bin
‘Abdillah bin ‘Umar, dari ‘Abdillah bin Umar ia berkata, “Aku mendengar
Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada beliau tentang air yang
terdapat di padang sahara yang telah diminum oleh binatang tunggangan dan
binatang buas. Maka beliau bersabda, “Apabila terdapat air berukuran mencapai
dua qullah maka air itu tidak kotor (najis).” (Dikeluarkan oleh Darul
Quthni dan empat madzhab, dishohihkan
oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Asbabul wurud
Sebab adanya hadits ini ketika ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rosulullah tentang air yang terdapat di padang sahara, air itu telah diminum
oleh binatang buas dan lainnya, atau bisa saja terkena najis, maka Rosulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Apa bila terdapat air berukuran mencapai dua qullah
maka air itu tidak kotor (najis).”
Derajat hadits
Para ulama berselisih
dalam menghukumi hadits ini. Sebagian mereka menshahihkan hadits ini,
diantaranya Imam Syafi’i, Ahmad, Yahya bin Ma’in, Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Hibban, al-Haakim, Abu Ubaid al-Qaasim bin Sallaam,
ath-Thahawiy,Daruquthni, Baihaqiy, Ibnu Mandah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim,
Adz Dzahabi, ibnu Daqiqil’ied, al-‘Alaa’i, Abdulhaq al-Isybiliy, Al ‘Iraqiy,
Ibnu Hajar, Ibnu Hazm, Ahmad Syakir, Al Albani dan lain-lain. Sebagian
lainnya masih mendhaifkannya, diantaranya Ibnu Abdilbarr (lihat at-tamhid
1/329) dan Ibnul ‘Arabi (lihat Ahkaam al-Qur`an 3/1425 dan ‘Aridhatul ahwadzi
1/84).
Diantara ulama yang
menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At
Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dan
syeikh al-Albani.
Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”,
diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al
Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih. Ath Thohawi, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan
hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob
(simpang siur) tidaklah dapat diterima, sebagaimana telah saya jelaskan dalam
Shahih Abi Daud (56-58). (Irwa’ al-Ghaolil 1/60 hadits no. 23).
Dari sini jelaslah
kebenaran pendapat yang mensahahihkan hadits dua qullah di atas, bahkan salah
satu jalannya (jalan yang pertama) atas syarat Bukhari dan Muslim, maka
tidak ada jalan bagi sebagian ulama untuk melemahkannya dengan
mengatakan bahwa hadits dua qullah itu mudltharib (goncang) sanad dan matannya.
Syarh
hadits
Kata قلتين (qullataini)
dengan didhommahkan huruf Qaafnya berarti dua kullah. Kullah sendiri adalah
kantong air yang besar dari tanah yang dinamakan juga dengan al-Hubb (الحُب). Qullah yang dijelaskan didalam
hadits ini adalah tempat yang besar.
Kata لم يحمل الخبث (lam yahmil
khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), tidak jelas pengaruhnya.
Maknanya adalah apabila air mencapai ukuran ini bila ada najis yang jatuh ke
dalamnya ia akan tetap suci.
Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan
(menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak
menjadi najisi. Kata الخبث (khobats) adalah najis.
“Kandungan utama hadits
qullatain adalah air yang telah mencapai kadar sebanyak dua qullah, tidaklah
membawa/mengandung najis, dikarenakan umumnya kadar air yang demikian tidaklah
dipengaruhi oleh najis. (Namun), apabila ternyata sebagian karakter air
berubah, maka statusnya menjadi najis berdasarkan ijma’ ulama yang ditetapkan
dari beberapa periwayatan” Beliau melanjutkan: “Adapun air yang jumlahnya di
bawah dua qullah, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
memastikan bahwa air dengan kadar tersebut mengandung najis. Bahkan
konteks hadits menunjukkan bahwa air dengan kadar di bawah dua qullah,
terkadang membawa najis dan juga terkadang tidak membawa najis. Apabila air
tersebut mengandung najis, maka statusnya tidaklah berubah menjadi najis
kecuali salah satu karakternya berubah. Sehingga, konteks hadits qullatain
ditaqyid (dikaitkan) dengan hadits yang telah disepakati untuk diterima dan
diamalkan, yang menyatakan bahwa air yang bercampur dengan najis, statusnya
menjadi najis apabila terjadi perubahan pada salah satu karakternya. Wallahu A’lam
Hadits ini memberikan pengertian
bahwa air yang mencapai dua kullah atau lebih, apabila terkena najis maka ia tidak berubah
menjadi najis baik berubah sifatnya atau tidak. Namun pengertian seperti ini tidak benar
karena ijma’ mengatakan bahwa air yang terkena najis dan berubah salah satu
sifatnya maka menjadi najis baik sedikit maupun banyak. Pengertian sebaliknya
dari hadits di atas bahwa air yang sedikit yang tidak mencapai dua kullah
dengan sekedar terkena najis saja sudah menjadi najis, baik berubah atau tidak
berubah salah satu sifatnya. Jadi maksud kandungan di dalamnya adalah apabila
air belum mencapai dua kullah hukumnya najis, dan apabila tercapai dua kullah
harus terdapat syarat yang terkandung yaitu bau, rasa, dan warnanya tidak
berubah.
Pengertian ini menyelisih
hukum al-manthuq (pengertian umum), karena tidak diambil keumumannya; sebabnya
tidak disyaratkan hukum pengertian sebaliknya (mafhuum) menyelisihi pengertian
umum (al-manthuq) dari semua sisi, bahkan cukup penyelisihannya walaupun hanya
dalam satu bentuk dari bentuk keumumannya. Inilah pengertian kaedah (المفهوم
لا عموم له)
Pengertin sebaliknya tidak digunakan keumumannya.
Berdasarkan hal ini tidak
mesti setiap yang tidak mencapai dua kullah menjadi najis. Apabila terkena
najis dan berubah sifatnya maka ia menjadi najis dan bila tidak ada perubahan
sifat maka tetap dalam keadaan suci. Namun air yang dibawah dua kullah menjadi
pusat perhatian agar otang tidak semau-maunya atau meremehkannya. Hal ini
karena ukuran tersebut menjadi sesuatu yang mudah terpengaruh najis.
Al Istifadah min Al Hadits
Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut
dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi
pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.
Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari
dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga
air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi
dengannya.
Ternajisi
atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya,
jika najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada
kesuciannya.
Air sedikit sekali terpegaruh oleh najis secara
umum, sehingga seyogyanya dibuang dan berhati-hati dengan tidak menggunakannya.
Maroji’
1. Kitab
Daru Quthni, Ali bin ‘Umar Abu Hasan
Ad Daruquthni al baghdadi. Darul Ma’rifah Juz 1
2. Fath Dzil Jalali wal Ikrom,
Syarh Bulughul Marom. Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Jilid 1
3. Syarh
Bulughul Marom net. UstadzKholid.com.htm. Senin, 9-9-2013